NPM : 24210897
KELAS : 2EB18
CONTOH KASUS
Aulia Pohan Hadapi Tuntutan Kaus Korupsi
Aulia sebelumnya mednjabat sebagai Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI). Aulia diduga terlibat korupsidan karenanya dianggap telah merugikan Negara sebesar Rp100 miliar. Kasus korupsi Aulia Pohan ini ternyata menyeret nama lain, yakni Aslim Tajuddin, Maman Sumantri, Bun Bunan Hutapea. Aulia bersama tiga mantan Deputi Gubernur lainnya diduga telah mengambil dan menggunakan dana BI yang berada pada yayasan pengembanagan Perbankan Indonesia . Mereka semuanya ditetapkan sebagai tersangaka berdasarkan hasil penyelidikan siding korupsi yang diadakan pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Aulia disidangkan bersama dengan mantan Deputi Gubernur BI lainnya,. Keempat mantan pejabat BI itu didakwa melanggar pasal 2 ayat 1 Undang-undang Tindak Pidana Korupsi. Ancamannya, hukuman pidana seumur hidup atau maksimal 20 tahun penjara.
Pada sidang sebelumnya, Aulia Pohan mengaku telah meminta anggota Komisi IX 1999-2004 untuk menghubungi Ketua Biro BI Cabang Surabaya Rusli Simanjuntak jika ada permintaan biaya-biaya. Menurut Aulia, anggota DPR Daniel Tanjung pernah mengatakan secara informal bahwa ada ongkos untuk menyelesaikan masalah BLBI.
Aulia mengatakan kebutuhan itu dibahas dalam Rapat Dewan Gubernur pada 3 Juni 2003. Dalam rapat itu, Aulia menyebutkan kebutuhan dana senilai Rp 100 miliar. Bunbunan mengungkapkan bahwa ada dana di YPPI yang mungkin bisa digunakan. "Setahu saya jika diambil Rp 100 miliar tidak akan menganggu keuangan YPPI," ujar Bunbunan.
Selanjutnya uang dikeluarkan dari YPPI dengan persetujuan Aulia sebagai Ketua Dewan Pengawas YPPI dan Maman sebagai wakilnya. "Jika tidak kami setujui, uang tersebut tidak mungkin keluar," kata Maman mengakui.
Dana tersebut digunakan untuk mengatur dukungan DPR dalam penyelesaian Bantuan Likuiditas Bank Indonesia dan penyelesaian amendemen UU BI. Direktorat Hukum BI juga meminta dana untuk pemberian bantuan hukum kepada 5 mantan deputi BI.
Dampak dari korupsi :
Korupsi bukanlah hal sepele yang harus selalu mendapat pemakluman hanya karena telah menjadi sebuah tradisi klasik yang sulit untuk diberantas. Berikut beberapa dampak krusial akibat dari kegiatan korupsi yang sudah cukup akut melanda Indonesia;
1. Menghancurkan sistem perekonomian nasional
Kemiskinan yang melanda Indonesia tidaklah disebabkan oleh kurangnya Indonesia dari ketersediaan sumber daya alam maupun manusia. Kemiskinan yang tak kunjung berakhir tersebut salah satunya adalah disebabkan budaya korupsi yang telah ditumbuh kembangkan oleh para pendahulu negeri ini. Disamping kesalahan berbagai kebijakan mengolah negeri. Kesenjangan kehidupan pun terjadi, para koruptor (pelaku korupsi) hidup kaya raya, sementara rakyat kian miskin dan menderita.
2. Menjatuhkan harga diri bangsa
Indonesia cukup terkenal dengan sistem birokrasi yang memiliki tingkat intensitas korupsi yang cukup tinggi. Fakta bahwa Indonesia menjadi sarang para koruptor telah menjatuhkan harga diri bangsa Indonesia di mata dunia internasional. Akibatnya para investor asing pun berpikir dua kali untuk menanamkan saham investasinya di Indonesia.
Penyelesaiannya:
Dalam kasus seperti ini sebaiknya pemerintah Indonesia membuat strategi pemberantasan korupsi.
Kegagalan strategi pemberantasan korupsi di masa lalu adalah pelajaran bagi bangsa untuk menetapkan langkah ke depan strategi dalam pemberantasan korupsi. Pemberantasan korupsi idealnya harus mengandung dua unsur, yaitu penindakan dan pencegahan.
Dua unsur tersebut harus diusahakan agar dapat berjalan seiring saling melengkapi yakni korupsi harus dipetakan secara seksama dan dicari akar permasalahannya kemudian dirumuskan konsepsi pencegahannya. Sementara tidak pidana korupsi yang terus berlangsung harus dilakukan penegakan hukum secara konsisten, profesional agar pelanggaran serupa tidak terjadi lagi di kemudian hari. Apabila pendekatan tersebut dapat dilaksanakan secara konsisten, maka diharapkan pemberantasan korupsi dapat diwujudkan dengan lebih efektif, sistemik, berdaya guna, dan berhasil guna.
Bidang Pencegahan
· Pembentukan Integritas Bangsa
Mengingat begitu luas dan kompleksnya korupsi di Indonesia, salah satu kesimpulan yang bisa diambil adalah bahwa integritas bangsa Indonesia saat ini masih rendah. Dibutuhkan upaya untuk membentuk integritas bangsa. Upaya ini tentunya tidak mudah, diperlukan jangka waktu yang panjang dan konsistensi dalam pelaksanaannya.
Pembentukan integritas bangsa dapat dimulai dari pelaksanaan pendidikan anti korupsi dengan target semua usia mulai dari usia anak-anak hingga dewasa. Kita menyadari bahwa pembentukan mental dan kepribadian seseorang dimulai sejak dini sehingga penyusunan kurikulum anti korupsi untuk dimasukkan dalam kurikulum sekolah formal di Indonesia mulai digalakkan. Kampanye dan Training For Trainers (TOT) dengan materi anti korupsi harus terus diupayakan.
Disadari bahwa kampanye dan pendidikan anti korupsi tidak semata-mata dapat menunjang keberhasilan pembentukan integritas bangsa. Kampanye dan pendidikan antikorupsi penting namun hanya sebagian kecil telah dilakukan dalam rangka tumbuhnya awareness antikorupsi.
Perbaikan sistem untuk lebih transparan dan accountable, perbaikan remunerasi, perbaikan pengawasan merupakan salah satu dari strategi yang harus dilakukan untuk menciptakan supply dalam pembentukan integritas bangsa. Untuk terciptanya pembentukan integritas bangsa yang bebas korupsi, supply yang telah disiapkan segala program yang dilakukan pemerintah tidak akan bermanfaat banyak jika tidak ada demand dari masyarakat. Yang dimaksud dengan demand di sini adalah penolakan terhadap lingkungan dan perilaku yang koruptif. Penolakan terhadap lingkungan dan perilaku yang koruptif ini hanya dapat muncul jika telah ada awareness.
Jika supply dan demand telah siap, akan terciptalah akulturasi yang menyatukan kesiapan sistem dan awareness antikorupsi di masyarakat. Akulturasi merupakan jalan dari terciptanya pembentukan integritas bangsa yang bebas dari korupsi.
· Penerapan Tata Kelola Pemerintahan yang baik (Good Governance)
Seiring dengan telah diberlakukannya sistem desentralisasi dalam pemerintahan Indonesia, penerapan konsep dasar tata kelola pemerintahan yang baik, hendaknya digali dari best practices yang telah dirancang dan diperkenalkan terlebih dahulu oleh beberapa pemerintah provinsi/kota/kabupaten di wilayah Indonesia. Daerah-daerah yang secara sukarela membenahi sistem administrasinya, antara lain adalah Kabupaten Solok, Kabupaten Sragen, Kabupaten Jembrana, Kota Yogyakarta, Provinsi Gorontalo, Kota Palangkaraya, kota Denpasar, dan beberapa daerah lainnya. Lingkup perbaikan sistem administrasi yang mereka lakukan secara umum meliputi perbaikan layanan publik, penegakan hukum, administrasi, keuangan, dan partisipasi aktif dari masyarakat dengan mengacu kepada prinsip-prinsip yang transparan, akuntabel, efisien, konsisten, partisipatif, dan responsif. Wujud kongkrit dari penerapan tata kelola pemerintahan yang baik tersebut berupa:
- penerapan pakta integritas bagi seluruh pegawai, dengan mengucapkan sumpah untuk bekerja secara profesional dan secara moral rela mengundurkan diri bila di kemudian hari terbukti menyimpang dari ketentuan yang berlaku;
- memperkenalkan layanan satu atap satu pintu (one stop services) dengan menyederhanakan prosedur layanan, mengedepankan transparansi melalui pengumuman persyaratan, dan besarnya biaya pengurusan baik dalam lingkup perizinan maupun yang bukan perizinan serta waktu penyelesaian yang cepat dan batas waktu yang jelas;
- pencairan anggaran dengan menyederhanakan jumlah meja yang dilalui dalam proses pengurusan pencairan anggaran;
- pemberian tunjangan kinerja, yakni pemberian uang tambahan yang didasarkan prestasi kerja bagi setiap individu pegawai. Sumber dana yang dapat digunakan adalah melalui penghapusan semua honor dan memberlakukan pemberian satu honor menyeluruh kepada pegawai yang didasarkan pengukuran atas prestasi kerja;
- penerapan pengadaan barang dan jasa pemerintah yang konsisten, penegakan hukum yang tegas bagi yang melanggarnya. Merubah sistem pengadaan barang dan jasa melalui sistem elektronik (e-procurement);
- menerapkan anggaran berbasis kinerja dengan melibatkan perwakilan masyarakat dalam menyusun rencana anggaran belanja tahunan yang didasarkan atas kebutuhan riil daerah serta membuka akses bagi masyarakat untuk memberikan kritik dan saran;
- mendorong partisipasi masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam memberikan masukan yang konstruktif bagi usaha pemerintah dalam membangun masyarakat serta dalam memantau pelaksanaan program kerja pemerintah untuk mewujudkan sistem pemerintahan yang transparan.
Dengan penerapan prinsip-prinsip di atas terbukti daerah-daerah yang disebutkan di atas telah berhasil meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya, dengan dipadukan dengan program yang pro terhadap investasi berdampak terhadap penyerapan tenaga kerja serta pengurangan kemiskinan. Keberhasilan di daerah-daerah tersebut harus disebarluaskan ke daerah lain agar terwujud Indonesia yang makmur dan berbudaya.
· Reformasi Birokrasi
Pada dasarnya semua instansi pemerintah secara bertahap akan diarahkan untuk melakukan reformasi birokrasi. Namun akibat terbatasnya anggaran yang dimiliki negara perlu dilakukan pilot project terlebih dahulu, selain untuk dievaluasi dampaknya juga untuk dijadikan pembelajaran (lesson learn) bagi instansi lain yang akan direformasi.
Dipilihnya keempat instansi tersebut didasarkan pada pengalaman pelaksanaan reformasi birokrasi oleh negara-negara di Asia, Amerika, dan Australia. Dari pengalaman negara-negara tersebut diputuskan bahwa kriteria prioritas pilot project adalah lembaga yg mengelola keuangan (tidak seluruhnya tetapi yang rawan KKN), lembaga yang menangani pemeriksaan keuangan dan penertiban aparatur dan lembaga/aparat penegakan hukum.
Cukup banyak tahapan yang dilalui dalam pelaksanaan reformasi birokrasi di sini jika diurutkan maka tiap instansi harus: (i) melakukanAnalisis Jabatan dan Evaluasi Jabatan dimana di dalamnya terdapat banyak kegiatan mulai dari penyusunan peta jabatan, job description, spesifikasi jabatan, pengukuran beban kerja, klasifikasi jabatan, persyaratan/ kompetensi jabatan, job grading dan assesment pegawai;(ii) review ketatalaksanaan (business process) agar tersusun Standard Operating Procedure (SOP) yang lebih efisiendan efektif dengan mengoptimalkan teknologi informasi dan komunikasi; (iii) penilaian(assesment) status dan kebutuhan SDM; (iv) penetapan Key Performance Indicator (KPI) setiap jabatan atau unit kerja; dan (v) perumusan besaran remunerasi sesuai bobot tugas, wewenang, dan tanggung jawab (nilai jabatan) dalam rangka penegakan reward & punishment.
Tentunya proses-proses tersebut menuntut kesiapan dan membutuhkan jangka waktu yang panjang. Hingga saat ini pengalaman reformasi birokrasi yang berjalan sesuai tahapan tersebut baru dimiliki oleh Departemen Keuangan. Rezising dalam struktur organisasi dan golden shake hand bagi pegawai yang tidak lulus kompetensi merupakan beberapa kondisi yang terjadi di internal Departemen Keuangan. Peningkatan renumerasi yang kemudian diterima di Departemen Keuangan diikuti dengan perbaikan SOP dan peningkatan layanan dan juga peningkatan pengawasan. Karena seperti diakui sendiri oleh Menteri Keuangan, berapa pun peningkatan gaji yang diterima oleh pegawai di Departemen Keuangan tetap belum cukup untuk menghalangi perilaku yang korup karena begitu banyaknya godaan-godaan atau pun tawaran-tawaran suap yang berpuluh bahkan beratus kali lebih besar daripada kenaikan gaji yang diterimanya. Namun setidaknya dengan kenaikan gaji tersebut tidak ada alasan bagi pegawai di Departemen Keuangan untuk melakukan korupsi akibat desakan ekonomi (Corruption by needs)
Ketidakpercayaan terhadap aparat penegak hukum, juga menuntut adanya perbaikan atau reformasi birokrasi di lembaga-lembaga hukum. Seperti diketahui Mahkamah Agung merupakan salah satu lembaga hukum yang dijadikan pilot project dalam penyelenggaraan reformasi birokrasi. Meski pun belum seprogresif pelaksanaan di Departemen Keuangan, Mahkamah Agung secara bertahap mulai melakukan peningkatan transparansi dan perbaikan renumerasi dan pengelolaan sumber daya manusia. Saat ini website di Mahkamah Agung telah menampilkan 1409 kasus-kasus sejak tahun 2000 yang telah diputuskan oleh MA. SK Ketua MA No. 144/2007 mengenai keterbukaan informasi di pengadilan, beberapa kegiatan peningkatan kapasitas hakim, pelatihan kode etik hakim, perbaikan fasilitas di pengadilan serta penyusunan job evaluation menjadi langkah awal MA dalam mereformasi lembaganya.
Perlahan-lahan dengan membaiknya kinerja dan transparansi MA, diharapkan kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum di Indonesia menjadi membaik dan segera membantu terciptanya pemberantasan korupsi yang efektif di Indonesia
KPK secara penuh mendukung secara penuh kebijakan reformasi birokrasi ini. Mengingat besarnya skala kegiatan, keuangan negara yang digunakan dan tujuan dari reformasi birokrasi ini mendorong KPK untuk terus mengawasi proses dari reformasi birokrasi ini. Jika sistem telah terbentuk dengan baik, SOP tersusun, sistem penggajian menjamin terpenuhinya tingkat kesejahteraan bagi aparatnya sehingga tidak ada alasan untuk munculnya kasus korupsi akibat desakan ekonomi, maka akan lebih mudah bagi KPK maupun aparat penegak hukum lainnya untuk menindak aparat/penyelenggara negara yang melakukan korupsi karena keserakahan (corruption by greed).
Bidang Penindakan
Strategi total penindakan, seperti yang dulu dijalankan sejumlah badan-badan antikorupsi, terbukti tidak efektif dalam mengatasi problem korupsi yang sudah sistemik di Indonesia. Namun, kegiatan antikorupsi yang bersifat penindakan harus tetap dilaksanakan. Dalam konteks Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, terutama pasal 11 dan 12, kegiatan penindakan meliputi penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi yang "melibatkan aparat penegak hukum dan penyelenggara negara; mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp satu milyar". Adanya ketentuan-ketentuan yang mengatur kegiatan penindakan oleh KPK menekankan tetap pentingnya aktivitas represif dalam konteks perlawanan terhadap korupsi secara nasional.
Secara umum, strategi antikorupsi KPK telah didesain sehingga berimbang dimana strategi pencegahan, penindakan, institution-building, dan penggalangan partisipasi masyarakat dapat berjalan secara sinergi. Secara spesifik, strategi penindakan difokuskan kepada aspek-aspek yang paling relevan, untuk kemudian secara periodik disusun-ulang agar dapat beradaptasi dan mengantisipasi kegiatan-kegiatan korupsi yang selalu berubah; baik karena semakin meningkatnya kompleksitas tindakan-tindakan korupsi, atau pun karena perlawanan pihak-pihak yang merasa terancam oleh kegiatan-kegiatan antikorupsi KPK.
Secara eksplisit, strategi antikorupsi KPK untuk periode 2008-2012 bertujuan "berkurangnya korupsi di Indonesia". Untuk bidang penindakan, strategi berkesinambungan yang dimulai pada tahun 2008 adalah fokus pada kegiatan penindakan kepada aparat penegakan hukum dan sektor pelayanan publik, terutama untuk meningkatkan efek jera.
Untuk periode 2010 sampai 2012, strategi di bidang penindakan akan tetap terfokus kepada peningkatan efek jera terhadap aparat penegakan hukum dan sektor pelayanan publik, ditambah orientasi kepada potensi pengembalian aset. Jadi konsep besarnya adalah terus melakukan kegiatan penindakan secara konsisten agar efek jera yang telah dicapai KPK selama 4 tahun pertama dipertahankan dan ditingkatkan; ini adalah bagian "stick" dari strategi umum KPK, dimana sosialisasi Good Governance, Good Corporate Governance, dan kegiatan pencegahan lainnya termasuk perbaikan renumerasi biasa dianggap bagian "carrot"-nya.
Aspek ‘efek jera' penindakan dapat dianggap sebagai aspek yang sudah cukup lama dikenal dalam lexicon (kosa kata) perlawanan korupsi nasional. Untuk saat ini, yang seluk-beluknya belum banyak dikenal masyarakat adalah aspek asset recovery (pengembalian aset) - mengapa aspek ini menjadi semakin penting? Apakah masyarakat juga sudah mengerti tingkat kompleksitas yang akan dihadapi Indonesia dalam melakukan asset recovery? Fokus kepada asset recovery bisa dimengerti sebagai bagian dari pertanggungjawaban KPK terhadap masyarakat. Fokus penyelamatan keuangan negara yang merupakan tugas utama dari KPK dan kewenangan yang dimiliki KPK menjadikan asset recovery sebagai bagian penting dari strategi yang dikembangkan KPK. Selain itu, asset recovery memiliki dimensi yang luas, baik di dalam negeri mau pun secara internasional mengharuskan KPK untuk segera mengupayakan berbagai persiapan dan kerjasama demi tercapainya pengembalian aset hasil korupsi sebesar-besarnya ke kas negara.
Isu utama dari asset recovery adalah bahwa pengembalian aset merupakan dimensi riil dampak korupsi. Sebagai negara berkembang yang masih bergulat dengan masalah-masalah ‘dunia ketiga' seperti kemiskinan, kelaparan dan sebagainya, ditambah munculnya berbagai bencana seperti tsunami di Aceh beberapa tahun lalu, maka merupakan hal yang memprihatinkan jika kemudian dana-dana APBN/APBD yang terbatas tersebut kemudian dicuri oleh oknum koruptor - pendek kata, pengembalian dana yang dikorup dan kemudian ditransfer ke jurisdiksi lain adalah masalah kritis yang perlu diatasi secepatnya demi kesejahteraan masyarakat sebagai target orisinil penerima dana-dana tersebut.
Hal ini juga menjadi pertimbangan utama badan-badan internasional seperti PBB dan StAR Initiative. PBB telah mencanangkan United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) atau Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa menentang Korupsi. Bab V dalam UNCAC secara eksplisit mengatur supaya negara-negara anggota mengadakan kerjasama, serta menyesuaikan Undang-Undang mereka masing-masing, untuk memperlancar dan menyukseskan proses asset recovery yang dimulai oleh sebuah negara anggota.
Sementara itu, aktivitas entitas-entitas international seperti StAR Initiative, berlaku sebagai ‘support mechanism' internasional yang membantu negara-negara berkembang (terutama negara anggota peratifikasi UNCAC seperti Indonesia) untuk menegosiasikan asset recovery dengan negara-negara maju yang biasa menjadi penerima transfer dana para koruptor. Ini karena saat ini terdapat kesenjangan informasi antara negara asal dana dan negara penerima dana perihal sistem-sistem hukum, komunikasi antarnegara, dan hubungan politik masing-masing negara.
Isu lain asset recovery yang penting di Indonesia adalah dimensi politiknya. Kesuksesan KPK ke depan dalam hal pengembalian aset menjadi hal yang sangat penting dalam konteks political capital, yang akan memberikan bobot politik bagi KPK dalam konteks perpolitikan di Indonesia. Political capital ini sendiri memiliki beberapa bentuk: dukungan masyarakat secara umum yang dapat berbentuk peningkatan partisipasi masyarakat mau pun dukungan pemerintahan Indonesia dalam bentuk dukungan politik atau pun materiil. Kedua bentuk political capital ini akan saling mempengaruhi. Berdasarkan hal tersebut, dapat diasumsikan bahwa untuk mensukseskan usaha asset recovery di Indonesia, akan banyak faktor yang mempengaruhi penilaian dan harapan masyarakat dan pemerintah Indonesia. Untuk itu, dalam upaya pengembalian aset ini, KPK harus mampu me-manage harapan masyarakat yang besar di satu sisi dan kemungkinan hambatan politis di sisi lain.
Dalam merencanakan langkah-langkah asset recovery, KPK perlu mengantisipasi perspektif semua stakeholders sebagai bagian perlawanan korupsi di Indonesia termasuk perspektif internal KPK sendiri. Penting pula bagi KPK untuk mengindahkan perspektif pembelajaran dan pertumbuhan (yang merupakan perspektif jangka panjang) dan menyesuaikan dengan perspektif keuangan, untuk memastikan tersedianya anggaran. Karenanya, pendekatan ‘balance score card' (BSC) merupakan pendekatan yang tepat untuk digunakan dalam pelaksanaan rencana strategi KPK. Pendekatan BSC seperti ini berlaku juga dalam melaksanakan fokus terhadap peningkatan efek jera.
Selain menentukan fokus tertentu dalam strategi penindakan ke arah peningkatan efek jera dan pensuksesan usaha asset recovery, KPK juga telah menentukan fokus terhadap outcome yang diproyeksikan dari strategi penindakan. Dua fokus tersebut adalah penyelamatan kebocoran negara serta pelaksanaan strategi penindakan secara konsisten.
· Penyelamatan Kebocoran Negara serta Penindakan yang Konsisten
Seperti telah disebutkan, tingkat kebocoran negara baik kebocoran APBN/APBD baik melalui kecurangan dalam pengadaan barang dan jasa mau pun melalui proses lain selama empat dekade ini telah mencapai level yang sangat kritis - dampaknya sangat terasa pada kondisi perekonomian Indonesia yang terus terpuruk. Untuk periode 2008 - 2012, perhatian utama KPK adalah bagaimana agar pelaksanaan strategi penindakan dapat fokus terhadap terbentuknya efek jera dan pensuksesan asset recovery dapat menyelamatkan uang negara. Di saat yang sama, KPK juga berkepentingan untuk memastikan bahwa pelaksanaan strategi penindakan dilakukan secara konsisten supaya benar-benar memenuhi mandat yang tersirat dalam UU No. 30 Tahun 2002.
Pendekatan BSC yang dipakai di KPK memerlukan pertimbangan yang holistik. Dalam konteks perspektif pemangku kepentingan(stakeholders), untuk kegiatan-kegiatan penindakan KPK, telah ditetapkan sasaran stratejik sebagai berikut:
- Efektivitas Koordinasi dan Supervisi Bidang Penindakan, dengan ‘Key Performance Indicator' (KPI): pencapaian Indeks Integritas Lembaga Penegakan Hukum dan Pengawasan, yaitu diproyeksikan mencapai 2.5 pada tahun 2008, 2.7 pada tahun 2009, 3.0 pada tahun 2010, 3.5 pada tahun 2011, dan 4.5 pada tahun 2012.
- Keberhasilan Penegakan Hukum Kasus Korupsi dengan KPI: persentase keberhasilan penanganan perkara yang diputuskan pada tingkat Pengadilan Negeri, yaitu diproyeksikan konstan mencapai 90% selama periode 2008-2012.
- Kepercayaan Publik kepada KPK dengan KPI rata-rata peningkatan indeks dari angka dasar tahun 2007 yang akan diperoleh melalui survei persepsi, yaitu peningkatan 10 % setiap tahunnya selama periode 2008-2012.
Indikator-indikator tersebut telah dirancang sebagai alat ukur yang cocok untuk menilai konsistensi pelaksanaan strategi penindakan KPK di tahun 2008-2012 dimana penegakan hukum serta koordinasi dan supervisi atas lembaga-lembaga penegakan hukum telah berjalan efektif, dan tercapainya efek jera menjadi lebih mudah untuk dipantau.
Dalam konteks penyelamatan kebocoran negara, sasaran-sasaran stratejik yang dirumuskan KPK juga dirancang untuk memudahkan pemantauan dan pertanggungjawaban aktivitas-aktivitas KPK yang berfokus pada asset recovery. Contohnya, KPK dan masyarakat dapat menilai kinerja KPK dalam mensukseskan usaha asset recoverydengan melihat persentase perkara yang berhasil diputuskan di pengadilan, lalu melihat apakah kasus-kasus tersebut menyangkut usaha asset recovery.
Hal ini tentu saja baru sebagai langkah awal dalam proses asset recovery yang kompleks. Pihak penegak hukum kemudian masih bertanggung jawab untuk menegakkan putusan pengadilan di Indonesia dengan mengejar proses asset recovery di negara asing dengan cepat dan tanggap. Mengingat pertimbangan yang dilakukan melalui kacamata perspektif pemangku kepentingan, KPK tentu baru dapat meningkatkan pencapaian sasaran-sasaran stratejik ini apabila kapasitas internal KPK sendiri juga dilengkapi dengan keahlian dalam: (i) secara langsung membantu aparat-aparat penegak hukum dalam menegosiasikan proses asset recovery dengan negara asing, dan (ii) membangun pusat informasi internal tentang proses dan prosedurasset recovery yang terhimpun berdasarkan negara-negara asing yang diketahui sebagai negara penerima transfer dana milik negara yang dicuri; pusat informasi tersebut kemudian disosialisasikan dan di-share dengan aparat-aparat penegak hukum dalam usaha asset recovery mereka.
Dalam konteks perspektif internal KPK, telah ditetapkan beberapa sasaran stratejik kegiatan penindakan, yakni:
- Menyelenggarakan Koordinasi Penindakan Tindak Pidana Korupsi dengan KPI: persentase peningkatan jumlah penerimaan SPDP (dari base line 2007), yaitu diproyeksikan mencapai 20% pada tahun 2008, 30% pada tahun 2009, 40% pada tahun 2010, 50% pada tahun 2011, dan 60% pada tahun 2012.
- Mewujudkan Supervisi Penindakan Tindak Pidana Korupsi dengan KPI: persentase peningkatan jumlah perkara TPK yang disupervisi yang dapat diselesaikan oleh Kejaksaan dan Kepolisian, yaitu diproyeksikan mencapai 20% pada tahun 2008, 30% pada tahun 2009, 40% pada tahun 2010, 50% pada tahun 2011, dan 60% pada tahun 2012.
- Melaksanakan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang kuat dan proaktif dengan KPI: persentase peningkatan jumlah proses penegakan hukum terhadap TPK, yaitu diproyeksikan mencapai 30% pada tahun 2008, 35% pada tahun 2009, 40% pada tahun 2010, 45% pada tahun 2011, dan 50% pada tahun 2012.
- Penyelamatan Kerugian Keuangan Negara dengan KPI: persentase peningkatan jumlah kerugian keuangan negara yang disetor ke kas negara, yaitu diproyeksikan mencapai peningkatan 20% secara konsisten setiap tahunnya.
- Melaksanakan pemeriksaan LHKPN secara efektif dengan KPI: persentase peningkatan jumlah hasil pemeriksaan LHKPN yang dapat dilimpahkan ke direktorat penyelidikan, gratifikasi, dan instansi lain - diproyeksikan mencapai 20% pada tahun 2008, 30% pada tahun 2009, 40% pada tahun 2010, 50% pada tahun 2011, dan 60% pada tahun 2012.
- Melaksanakan pemeriksaan pengaduan masyarakat yang efektif dengan KPI: persentase peningkatan jumlah hasil pemeriksaan Direktorat Dumas yang dapat dilimpahkan ke Direktorat Penyelidikan, yaitu diproyeksikan mencapai 20% pada tahun 2008, 30% pada tahun 2009, 40% pada tahun 2010, 50% pada tahun 2011, dan 60% pada tahun 2012.
- Melaksanakan pemeriksaan gratifikasi yang efektif dengan KPI: persentase peningkatan jumlah hasil pemeriksaan gratifikasi yang dapat dilimpahkan ke Direktorat Penyelidikan, yaitu diproyeksikan mencapai 30% pada tahun 2008, 35% pada tahun 2009, 40% pada tahun 2010, 50% pada tahun 2011, dan 60% pada tahun 2012.
- Dukungan informasi dan data dengan KPI: indeks kepuasan perguna, yaitu diproyeksikan meningkat 20% pada tahun 2008, kemudian meningkat 30% setiap tahunnya dari 2009 sampai 2012.
Dari sasaran-sasaran stratejik di atas ini, yang dilengkapi dengan KPI yang terukur, dapat terlihat bahwa perspektif internal KPK sudah mencerminkan titik fokus penindakan di KPK yakni menimbulkan efek jera dan pengembalian aset ke negara.
Terdapat beberapa hal yang perlu untuk ditingkatkan secara internal di KPK, sesuai dengan fokus kepada penyelamatan pembocoran negara dan pelaksanaan kegiatan penindakan yang konsisten, diantaranya adalah (i) lancarnya dan seringnya diseminasi tentang prosedur dan proses asset recovery, melalui sistem pusat informasi internal. Sistem pusat informasi internal ini diharapkan selalu proaktif dalam ‘sharing information' kepada setiap personel operasional KPK, dan (ii) tersebarnya peraturan-peraturan yang berlaku di instansi penegak hukum yang terkait dengan kegiatan-kegiatan supervisi dan koordinasi KPK atas instansi-instansi tersebut.
Dengan memastikan lancarnya diseminasi informasi tentang peraturan-peraturan domestik dan internasional yang relevan dengan fokus strategi penindakan KPK dalam periode 2008-2012, maka peluang tercapainya kesuksesan pencapaian sasaran-sasaran stratejik KPK akan semakin besar.
Selain itu, beberapa hal yang perlu menjadi perhatian lebih KPK adalah bagaimana memastikan bahwa pencapaian sasaran-sasaran stratejik tersebut benar-benar mencerminkan usaha optimal KPK dalam mensukseskan asset recovery, sekaligus koordinasi dan supervisi penegakan hukum.
KPI yang disusun dalam rencana startegis penindakan di KPK tentunya menyertakan analisis mengenai ancaman nyata yang berasal dari perlawanan para koruptor terhadap aksi antikorupsi yang dilakukan KPK sehingga proyeksi hasil dari sasaran stratejik ini menjadi lebih realistis.
Faktor-faktor antagonistik seperti corruption fights back merupakan faktor yang turut diperhitungkan dalam penyusunan grand strategyKPK. Namun kembali ditekankan bahwa bagaimanapun juga pemberantasan korupsi yang sistemik di tubuh KPK hanya dapat dicapai jika terjadi sinergi antara ketercapaian di bidang pencegahan dan penindakan.