NPM : 24210897
KELAS : 2EB18
ASPEK HUKUM TRANSAKSI (PERDAGANGAN)
MELALUI MEDIA ELEKTRONIK (E-COMMERCE) DI ERA GLOBAL:
SUATU KAJIAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN
Sampai saat ini belum ada kesepakatan di antara para pengamat dan pakar mengenai definisi dari e-commerce, karena setiap pakar atau pengamat memberi penekanan yang berbeda perihal e-commerce ini.
Chissick dan Kelman misalnya memberikan definisi yang sangat global terhadap e-commerce yaitu ‘a board term describing business activities with associated technical data that are conducted electronically’. Hampir senada dengan pengertian tersebut, Kamlesh K. Bajaj dan Debjani Nag menyatakan bahwa e-commerce merupakan satu bentuk pertukaran informasi bisnis tanpa menggunakan kertas (paperless exchange of business information) melainkan dengan menggunakan EDI (Electronic Data Interchange), electronic mail (e-mail), EBB (Electronic Bulletin Boards), EFT (Electronic Funds Transfer) dan melalui jaringan teknologi lainnya7.
Definisi lain yang bersifat lebih teoritis dengan penekanan pada aspek sosial ekonomi dikemukakan oleh Kalalota dan Whinston dengan menyatakan bahwa e-commerce adalah sebuah metodologi bisnis modern yang berupaya memenuhi kebutuhan organisasi-organisasi, para pedagang dan konsumer untuk mengurangi biaya (cost), meningkatkan kualitas barang dan jasa serta meningkatkan kecepatan jasa layanan pengantaran barang. United Nation, khususnya komisi yang menangani Hukum Perdagangan Internasional menyatakan bahwa e-commerce adalah perdagangan yang dilakukan dengan menggunakan data massage electronic sebagai media.
Komisi Perdagangan Internasional PBB menyatakan bahwa e-commerce adalah perdagangan yang dilakukan dengan menggunakan data massage electronic sebagai medianya. Istilah commerce itu sendiri didefinisikan oleh PBB dalam UNCITRAL Model Law on Electronic Commerce sebagai setiap hal yang muncul dari seluruh sifat hubungan ‘perdagangan’, baik yang bersifat kontraktual ataupun tidak, meliputi (tapi tidak terbatas pada) transaksi berikut: setiap transaksi perdagangan untuk mensuplai atau menukar barang atau jasa; perjanjian distribusi; representasi atau agensi perdagangan; perusahaan; leasing; konstruksi kerja; konsultasi; teknik; pemberian ijin; investasi; pemberian dana (financing); banking; asuransi; eksploitasi; kesepakatan atau perjanjian atau konsesi; joint venture dan bentuk-bentuk lain kerjasama di bidang industri atau bisnis; pengangkutan barang atau penumpang melalui udara, laut, kereta api atau jalan.
Dalam UNCITRAL Model Law on Electronic Commerce juga disebut bahwa data massage adalah informasi yang dibuat, dikirim, diterima atau disimpan dengan peralatan-peralatan elektronik, optik atau semacamnya, termasuk, tapi tidak terbatas pada pertukaran data elektronik (EDI), e-mail, telegram, teleks dan telekopi.8
Dari semua definisi mengenai e-commerce di atas, jelas esensinya menuju satu substansi yang sama yaitu suatu proses perdagangan dengan menggunakan teknologi dan komunikasi jaringan elektonik. Namun dari pengertian yang ada dalam UNCITRAL Model Law on Electronic Commerce, dapat dipahami bahwa e-commerce bukan hanya perdagangan yang dilakukan melalui media internet saja (sebagaimana yang dipahami banyak orang selama ini), melainkan meliputi pula setiap aktifitas perdagangan yang dilakukan melalui atau menggunakan media elektronik lainnya. Adapun media elektronik yang sering digunakan dalam transaksi e-commerce adalah EDI (Electronic Data Interchange), teleks, faks, EFT (Electronic Funds Transfer) dan internet.
2. Permasalahan Hukum (Kontrak) dalam Transaksi E-Commerce
Dalam tulisannya Perlindungan Konsumen dalam E-Commerce, Esther Dwi Magfirah mengidentifikasi beberapa permasalahan hukum yang dapat dihadapi konsumen dalam transaksi e-commerce. Permasalahan tersebut adalah9:
- otentikasi subyek hukum yang membuat transaksi melalui internet;
- saat perjanjian berlaku dan memiliki kekuatan mengikat secara hukum ;
- obyek transaksi yang diperjualbelikan;
- mekanisme peralihan hak;
- hubungan hukum dan pertanggungjawaban para pihak yang terlibat dalam transaksi baik penjual, pembeli, maupun para pendukung seperti perbankan, internet service provider (ISP), dan lain-lain;
- legalitas dokumen catatan elektronik serta tanda tanan digital sebagai alat bukti.
- mekanisme penyelesaian sengketa;
- pilihan hukum dan forum peradilan yang berwenang dalam penyelesaian sengketa.
Senada dengan apa yang diungkapkan di atas, M. Arsyad Sanusi kemudian membagi permasalahan hukum dalam transaski e-commerce menjadi dua yaitu permasalahan yang sifatnya substasial dan permasalahan yang sifatnya prosedural.
Permasalahan yang bersifat substasial diidentifikasi menjadi 5 (lima) yaitu permasalahan mengenai keaslian data massage dan tanda tangan elektronik; keabsahan (validity); kerahasiaan (confidentially/privacy) dan keamanan (security) dan availabilitas (availability). Untuk permasalahan yang bersifat prosedural dibagi menjadi 3 (tiga) yaitu permasalahan yurisdiksi atau forum; permasalahan hukum yang diterapkan (applicable law) dan permasalahan yang berhubungan dengan pembuktian (evidence).10
Berikut akan dideskripsikan beberapa permasalahan yang bersifat substansial dan prosedural dalam transaksi e-commerce serta pranata hukum yang dapat memberikan perlindungan terhadap konsumen.
2.1. Permasalahan yang Bersifat Substansial
Permasalahan pertama adalah mengenai keaslian data massage dan tanda tangan elektronik. Untuk keaslian data massage dan tanda tangan elektronik, permasalahan mengenai authenticity yang timbul adalah apakah pengiriman data massage baik dari konsumen atau server adalah benar seperti yang diduga atau diharapkan? Biasanya peralatan yang digunakan untuk memverifikasi identitas users adalah password. Namun password-pun dapat diduga atau ditipu dan diintersepsi. Demikian pula alamat dapat dipalsu dan disadap oleh para hacker, sehingga keaslian atau otentisitas dari data massage tidak dapat lagi dijamin. Hal ini menjadi permasalahan vital dalam e-commerce karena data massage inilah yang akan dijadikan dasar utama terciptanya suatu perjanjian atau kontrak, baik menyangkut kesepakatan ketentuan dan persyaratan perjanjian atau kontrak maupun substansi perjanjian atau kontrak itu sendiri.
Sebagai solusi, selama ini dimunculkan alat atau teknik yang dianggap mampu memberikan otentikasi yaitu kriptografi (cryptography) dan tanda tangan elektronik (electronic/digital signature). Dua teknik inilah yang selama ini dianggap sebagai pilar atau penopang e-commerce dan dianggap telah memungkinkan dokumen elektronik untuk memiliki posisi yang sama dengan dokumen kertas11.
Kriptografi adalah sebuah teknik pengamanan dan sekaligus pengotentikan data yang terdiri dari dua proses yaitu enskripsi dan deskripsi. Enskripsi adalah sebuah proses yang menjadikan teks informasi tidak terbaca oleh pembaca yang tidak berwenang karena telah dikonversi ke dalam bahasa sandi atau kode, sedangkan deskripsi adalah proses kebalikan dari enskripsi, yaitu menjadikan informasi yang asalnya telah dienskripsi untuk dibaca kembali oleh pembaca yang memiliki wewenang.
Tanda tangan elektronik menjadi permasalahan substansial sehubungan dengan otentikasi. Tanda tangan elektronik atau digital tidak hanya digunakan untuk memverifikasi keotentikan data massage tapi digunakan pula untuk meneliti identitas pengirim data, sehingga seseorang bisa yakin bahwa orang yang mengirim data massage benar-benar memiliki wewenang. Yang menjadi perdebatan adalah berkenaan dengan keabsahan sebuah kontrak on-line yang menggunakan digital signature. Apakah digital signature ini dapat menggantikan posisi tanda tangan konvensional karena keduanya memiliki bentuk fisik yang berbeda? Dengan demikian harus dilihat kembali apakah definisi dari tanda tangan itu, karena bagi ahli yang menganut madzhab skriptualis, yang menekankan pada bunyi teks hukum secara tekstual, maka keabsahan digital signature ini akan dianggap tidak sah.
Secara internasional UNCITRAL Model Law on Electronic Commerce dan ETA Singapore telah menerima tanda tangan elektronik sebagai tanda tangan yang valid. Bagaimana dengan Indonesia? Tampaknya usaha ke arah ini belum menampakkan perkembangan. Secara khusus kita belum mengadopsi pengaturan ini dan belum membentuk legislasi atau aturan khusus mengenai hal ini.
Permasalahan yang menyangkut substansi yang kedua adalah masalah keabsahan (validity). Sahkah perjanjian yang dilakukan secara on-line, yang memiliki beberapa perbedaan secara prosedural dengan perjanjian konvensional yang lazim digunakan?
Sebagaimana dalam perdagangan konvensional, transaksi e-commerce menimbulkan perikatan antara para pihak untuk memberikan suatu prestasi sebagai contoh dalam perikatan atau perjanjian jual beli, sehingga dari perikatan ini timbul hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh para pihak yang terlibat.
Jual-beli merupakan salah satu jenis perjanjian yang diatur dalam KUHPerdata, sedangkan e-commerce pada dasarnya merupakan model transaksi jual-beli modern yang menggunakan inovasi teknologi seperti internet sebagai media transaksi. Dengan demikian selama tidak diperjanjikan lain, maka sebenarnya ketentuan umum tentang perikatan dan perjanjian jual-beli yang diatur dalam Buku III KUHPerdata seharusnya dapat berlaku sebagai dasar hukum aktifitas e-commerce di Indonesia. Jika dalam pelaksanaan transaksi e-commerce tersebut timbul sengketa, maka para pihak dapat mencari penyelesaiannya dalam ketentuan tersebut.
Pada umumnya asas yang digunakan untuk transaksi dagang atau jual beli adalah asas konsensualisme, yaitu suatu asas yang menyatakan bahwa perjanjian jual beli sudah dilahirkan pada saat atau detik tercapainya ‘sepakat’ mengenai barang dan harga. Asas ini juga dianut dalam hukum perdata di Indonesia yang diatur dalam Pasal 1458 KUH Perdata (Burgerlijk Wetboek). Selain itu ada syarat lain yang juga harus dipenuhi untuk sahnya suatu perjanjian. Mengenai syarat sahnya suatu perjanjian di Indonesia diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu adanya kesepakatan antara para pihak, dilakukan oleh orang yang cakap hukum, adanya hal atau obyek tertentu dan adanya suatu causa atau sebab yang halal.12
Dalam hukum, keabsahan suatu kontrak sangat tergantung pada pemenuhan syarat-syarat dalam suatu kontrak. Apabila syarat-syarat kontrak telah terpenuhi, terutama adanya kesepakatan atau persetujuan antara para pihak, maka kontrak dinyatakan terjadi. Dalam transaksi e-commerce, terjadinya kesepakatan dan perjanjian sangat erat hubungannya dengan otentisitas dari data massage, sehingga timbul permasalahan apakah wujud data yang tidak tertulis di atas kertas --melainkan dalam wujud data record yang abstrak-- serta tanda tangan elektronik dapat diterima sebagai sesuatu yang sah?
Bagaimana dengan kontrak on-line? Menurut para pemerhati e-commerce, kondisi-kondisi hukum di atas juga berlaku mutatis mutandis pada kontrak on-line, karena sebenarnya kontrak on-line adalah sama kondisinya dengan kontrak pada umumnya atau kontrak konvensional, hanya saja dalam kontrak on-line digunakan piranti teknologi canggih dengan berbagai macam variasinya. Sebagai contoh Michael Chissick dan Kelman secara tegas menyatakan bahwa dalam e-commerce sebenarnya tidak ada hal-hal yang baru, melainkan hanya permasalahan lama yang dikemas dalam bingkai yang baru karena perbedaan sarana dan prasarana yang dimungkinkan oleh teknologi internet13.
Dengan pernyataan ini, walaupun masalah yang dihadapi mungkin berbeda, ketentuan mengenai perjanjian jual beli yang diatur dalam hukum Indonesia sebenarnya cukup memadai untuk hal ini, namun karena sifatnya yang khas, masih ada beberapa hal yang dapat diperdebatkan, misalnya mengenai kecakapan membuat perjanjian yang dalam hal ini oleh anak yang masih di bawah umur dan juga mengenai causa yang halal. Dengan demikian hal yang penting untuk kembali dilihat adalah mengenai digital signature untuk mengetahui kompetensi baik penjual maupun pembeli.
Namun perlu pula dicermati bahwa sebenarnya permasalahannya tidaklah sesederhana itu. E-commerce merupakan model perjanjian jual-beli dengan karakteristik yang berbeda dengan model transaksi jual-beli konvensional, apalagi dengan daya jangkau yang tidak hanya lokal tapi juga bersifat global. Apakah kemudian ketentuan jual-beli konvensional sebagaimana diatur dalam KUH Perdata secara tepat sesuai dan cukup untuk adaptif dengan konteks e-commerce atau perlukan membuat regulasi khusus untuk mengatur e-commerce ?
Mengenai pertanyaan kapan lahirnya kontrak web atau kontrak on-line yang sifatnya mengikat serta valid dalam hukum? Sejauh ini dapat dikemukakan dua pendapat dengan argumentasinya sendiri-sendiri. Pertama, kontrak web lahir pada saat buyer atau konsumen melakukan klik penerimaan ‘agree’ atau ‘accept’, yang berarti data sudah terkirim dan tidak dapat ditarik kembali. Ini menandakan telah terjadi kesepakatan antara pihak penjual dan pembeli. Kedua, kontrak lahir dan mengikat ketika seller atau penjual menerima pesan order tersebut dan buyer atau konsumen telah menerima acknowledgement of receipt.
Permasalahan ketiga adalah masalah kerahasiaan (confideniality/ privacy). Kerahasiaan yang dimaksud di sini meliputi kerahasiaan data atau informasi dan juga perlindungan terhadap data atau informasi dari akses yang tidak sah dan tanpa wenang. Untuk e-commerce, masalah kerahasiaan ini sangat penting karena berhubungan dengan proteksi terhadap data keuangan, informasi perkembangan produksi, struktur organisasi serta informasi lainnya. Kegagalan untuk menjaga kerahasiaan dapat berujung pada terjadinya suatu dispute yang berujung pada tuntutan ganti rugi. Secara teknis solusinya dapat berupa penyediaan teknologi dan sistem yang tidak memberikan peluang kepada orang yang tidak berwenang untuk membuka dan membaca massage. Untuk upaya hukum, dapat dilakukan dengan membuat aturan hukum mengenai perlindungan terhadap informasi digital.14
Masalah keempat adalah masalah keamanan (security). Masalah keamanan ini tidak kalah penting karena dapat menciptakan rasa percaya bagi para pengguna dan pelaku bisnis untuk tetap menggunakan media elektronik untuk kepentingan bisnisnya. Masalah keamanan yang timbul biasanya karena kerusakan (error) pada sistem atau data yang dilakukan oleh pihak ketiga yang tidak bertanggung jawab.
Masalah terakhir yang sering timbul adalah masalah availabilitas atau ketersediaan data. Masalah ini penting sehubungan dengan keberadaan informasi yang dibuat dan ditransmisikan secara elektronik harus tersedia bila dibutuhkan. Dengan ini, untuk menjaga kepercayaan (trust) dan itikad baik (good faith), harus dibuat suatu sistem pengamanan yang dapat memproteksi dan mencegah terjadinya kesalahan atau hambatan baik kesalahan teknis, kesalahan pada jaringan dan kesalahan profesional.15
2.2. Permasalahan yang Bersifat Prosedural
Di atas sudah disebutkan bahwa permasalahan hukum yang bersifat prosedural adalah permasalahan yurisdiksi atau forum; permasalahan hukum yang diterapkan (applicable law) dan permasalahan yang berhubungan dengan pembuktian (evidence).
Masalah pertama mengenai yurisdiksi atau forum. Masalah yurisdiksi dalam e-commerce sangatlah kompleks, rumit dan sangat urgen untuk dibicarakan, karena bisa menyangkut yurisdiksi dua negara atau lebih. Padahal setiap keputusan pengadilan yang tidak memilki yurisdiksi atas perkara tertentu atau personal incasu para pihak dapat dinyatakan batal demi hukum. Masalah yurisdiksi ini menjadi relevan ketika pengadilan mencoba menggunakan kekuasaannya terhadap orang yang bukan penduduk atau tidak tinggal dalam batas-batas teritorial negara tertentu. Pengadilan dalam hal ini tidak dapat menerapkan atau mengadili perkara tertentu kecuali negara tersebut saling mengadakan perjanjian mengenai penentuan yurisdiksi.
Dalam penentuan yurisdiksi perlu diperhatikan hal-hal seperti lokasi para pihak, obyek kontrak serta kehadiran para pihak. Terhadap negara yang telah memiliki perjanjian, biasanya diberlakukan peraturan mandatory, sedangkan untuk badan hukum atau perusahaan, penentuan forumnya biasanya adalah domisili perusahaan.
Dalam Hukum Perdata Internasional, konsep di mana penggugat memilih yurisdiksi dapat dilakukan berdasarkan asas teritorialitas atau domicilie dan asas nasionaliteit atau kewarganegaraan atau berdasarkan pilihan hukum para pihak. Indonesia sendiri berdasar Pasal 16 AB menganut asas nationaliteit untuk menentukan hukum yang berlaku bagi status personil seseorang.16 Selain itu, mengenai kontrak berlaku asas the proper law of contract, di mana yurisdiksi juga dapat dipilih berdasar lex loci contractus yaitu yurisdiksi yang berlaku di mana kontrak dibuat atau lex loci solutionis yaitu forum atau hukum tempat pelaksanaan perjanjian.
Dalam transaksi e-commerce, karena sifatnya yang khas di mana para pihak yang melakukan perjanjian atau kontrak tidak bertemu secara langsung dan perjanjian atau kontrak dilakukan secara elektronik dan esensinya yang menekankan pada efisiensi, cukup sulit untuk menentukan hukum mana yang akan diberlakukan apabila terjadi sengketa. Ada kemungkinan bahwa kontrak dianggap sah misalnya di salah satu tempat, namun dianggap tidak sah atau ilegal ditempat yang lain17.
Dalam perjanjian atau kontrak e-commerce, pengaturan mengenai yurisdiksi kemudian biasanya dilakukan dengan menggunakan pilihan hukum (choice of law) yang dimasukkan dalam klausul kontrak. Hal ini dimungkinkan karena pada prinsipnya persoalan pilihan hukum adalah otonomi dari para pihak. Masalah pilihan hukum atau partijautonomie ini sebenarnya merupakan salah satu ajaran khusus dalam Hukum Perdata Internasional.
Dalam menentukan hukum yang berlaku sesuai dengan Pilihan Hukum para pihak, maka dalam suatu kontrak para pihak bebas untuk melakukan pilihan sendiri hukum yang harus dipakai untuk kontrak mereka, namun mereka tidak bebas untuk menentukan sendiri perundang-undangan. Harus ada batas-batas tertentu untuk kelonggaran atau kebebasan memilih hukum, namun kebebasan ini bukan berarti boleh sewenang-wenang, sehingga pilihan hukum ini hanya diperkenankan sepanjang tidak melanggar apa yang dinamakan sebagai ‘ketertiban umum’ (ordre public) dan tidak terjadi penyelundupan hukum (fraus legis) yaitu sekedar menghindarkan diri dari suatu kaidah hukum tertentu yang memaksa.18
Menurut Sudargo Gautama, masalah pilihan hukum harus diartikan secara luas, tidak hanya menyangkut kepada pilihan hukum di bidang harta benda saja, tetapi segala perbuatan hukum yang mengakibatkan karena kemauan sendiri, bagi yang bersangkutan berlaku lain hukum perdata daripada hukum perdata yang lazim ditentukan baginya menurut peraturan-peraturan, termasuk di dalamnya penundukan sukarela untuk perbuatan hukum tertentu dan penundukan dianggap. Pilihan hukum ini berkenaan baik dengan bidang hukum perdata maupun hukum publik.19
Walaupun demikian, permasalahan yang kemudian dapat timbul adalah pengakuan serta daya mengikatnya putusan hakim suatu negara tertentu untuk diberlakukan di negara lain apabila terjadi sengketa atau adanya wanprestasi dari salah satu pihak. Dengan demikian memang harus disadari bahwa Hukum Perdata Internasional sendiri memiliki batasan-batasan dalam keberlakukannya.
Masalah kedua adalah masalah hukum yang diterapkan (applicable law). Walaupun masalah ini erat kaitannya dengan yurisdiksi, dalam transaksi e-commerce, klausul kontrak dan kewajiban para pihak secara umum seyogyanya tunduk pada hukum negara yang dipilih oleh para pihak. Namun bagaimana bila dalam penawaran yang tercantum dalam situs atau web tersebut tidak secara expressis verbis dicantumkan tentang forum mapun pilihan hukum? Jika tidak ada pilihan hukum yang efektif, maka hak dan kewajiban para pihak dapat ditentukan oleh hukum lokal negara dengan memperhatikan hubungan hukum yang memiliki signifikansi terdekat dengan masalah para pihak.
Sejalan dengan hal ini, mengutip pandangan Moris, the proper law of the contract adalah suatu sistem hukum yang dikehendaki oleh para pihak, atau bila kehendak itu tidak dinyatakan dengan tegas, atau tidak dapat diketahui dari keadaan disekitarnya, maka berlaku the proper law of the contract, yang merupakan sistem hukum yang memiliki kaitan yang paling kuat dan nyata dalam transaksi yang terjadi20. Demikian pula Sudargo Gautama mengemukakan teori the most characteristic connection yang menyatakan bahwa pilihan hukum berada pada kewajiban untuk melakukan prestasi yang paling karakteristik merupakan tolok ukur untuk penentuan hukum yang akan dipergunakan dalam mengatur perjanjian.
Permasalahan ketiga yang bersifat prosedural adalah masalah pembuktian (evidence). Untuk meminimalkan kecurangan-kecurangan dalam suatu perjanjian diperlukan dokumen sebagai pembuktian.
Bagaimana dengan dokumen pembuktian dalam transaksi e-commerce? Pembuktian juga merupakan hal yang penting dalam transaksi e-commerce. Namun karena sifatnya yang khas, biasanya bukti yang berupa dokumen digantikan oleh data yang berupa rekaman atau record.
Permasalahannya apakah rekaman data (record data) dapat diterima dalam sistem hukum Indonesia? Padahal kita tahu bahwa baik dalam Pasal 164 HIR yang menyebutkan mengenai alat bukti, mapun dalam Pasal 184 KUHAP tidak disebutkan mengenai alat bukti berupa rekaman data21. Dapatkah hukum Indonesia secara progresif membuka kemungkinan untuk menerima bukti lain selain yang sudah diatur tersebut, seperti misalnya data rekaman dari komputer, padahal sampai saat ini, alat bukti berupa rekaman elektronik masih menjadi perdebatan? Untuk sementara, di Indonesia peraturan perundang-undangan yang telah menerima bukti elektronik seperti e-mail, fax dan data elektronik komputer barulah UU Tindak Pidana Korupsi.
Mengingat perkembangan teknologi informasi yang begitu cepat, peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pembuktian dan alat bukti seyogyanya sesegera mungkin direformasi, sehingga rekam data elektronik dapat digunakan sebagai alat bukti. Tanpa reformasi hukum, maka perdebatan mengenai hal ini akan terus berlanjut, karena interpretasi mengenai alat bukti record data sebagai surat dapat dianggap sebagai analogi.22
3. Perlindungan Hukum terhadap Konsumen dalam Transaksi E-Commerce
Salah satu kelebihan atau keuntungan dalam e-commerce adalah informasi yang beragam dan mendetail yang dapat diperoleh konsumen dibandingkan dengan perdagangan konvensional tanpa harus bersusah payah pergi ke banyak tempat. Melalui internet misalnya konsumen dapat memperoleh aneka informasi barang dan jasa dari berbagai situs yang beriklan dalam berbagai variasi merek lengkap dengan spesifikasi harga, cara pembayaran, cara pengiriman, bahkan fasilitas pelayanan track and trace yang memungkinkan konsumen melacak tahap pengiriman barang yang dipesannya.Kondisi tersebut memberi banyak manfaat bagi konsumen karena kebutuhan akan barang dan jasa yang diinginkan dapat terpenuhi. Selain itu juga terbuka kesempatan untuk memilih aneka jenis dan kualitas barang dan jasa sesuai dengan keinginan dan kemampuan finansial konsumen dalam waktu yang relatif efisien.
Namun demikian, e-commerce juga memiliki kelemahan. Metode transaksi elektronik yang tidak mempertemukan pelaku usaha dan konsumen secara langsung serta tidak dapatnya konsumen melihat secara langsung barang yang dipesan berpotensi menimbulkan permasalahan yang merugikan konsumen.
Salah satu contoh adalah ketidaksesuaian jenis dan kualitas barang yang dijanjikan, ketidaktepatan waktu pengiriman barang atau ketidakamanan transaksi. Faktor keamanan transaksi seperti keamanan metode pembayaran merupakan salah satu hal urgen bagi konsumen. Masalah ini penting sekali diperhatikan karena terbukti mulai bermunculan kasus-kasus dalam e-commerce yang berkaitan dengan keamanan transaksi, mulai dari pembajakan kartu kredit, stock exchange fraud, banking fraud, akses ilegal ke sistem informasi (hacking) perusakan web site sampai dengan pencurian data.
Beragam kasus yang muncul berkaitan dengan pelaksanaan transaksi terutama faktor keamanan dalam e-commerce ini tentu sangat merugikan konsumen. Padahal jaminan keamanan transaksi e-commerce sangat diperlukan untuk menumbuhkan kepercayaan konsumen penggunanya. Pengabaian terhadap hal tersebut akan mengakibatkan pergeseran terhadap falsafah efisiensi yang terkandung dalam transaksi e-commerce menuju ke arah ketidakpastian yang nantinya akan menghambat upaya pengembangan pranata e-commerce.
Permasalahan hukum serta pemecahan yang sudah dijelaskan di atas, sebenarnya tidak lain dimaksudkan sebagai upaya untuk memberikan perlindungan terhadap konsumen dalam transaksi e-commerce. Walaupun tiak secara khusus disebutkan untuk memberikan perlindungan terhadap konsumen, namun mengingat permasalahan yang dihadapi adalah permasalahan yang umumnya dihadapi oleh konsumen serta pemecahannya baik secara substansial maupun secara prosedural, maka solusi yang telah diungkapkan di atas dapat digunakan untuk memberikan perlindungan terhadap konsumen.
Dalam tulisannya, Asril Sitompul menyatakan bahwa bagaimanapun juga masalah keamanan merupakan masalah penting dalam pemanfaatan media elektronik khususnya internet. Tanpa jaminan keamanan, maka para pelaku usaha akan enggan untuk memanfaatkan media ini. Untuk jaminan keamanan ini, hal yang perlu mendapatkan perhatian adalah masalah domisili perusahaan, sehingga apabila ada sengketa hukum, dapat diketahui dengan pasti kedudukan hukum dari perusahaan yang menawarkan produknya melalui media elektronik. Pada prinsipnya masalah perizinan, pendirian dan pendaftaran perusahaan sama dengan perusahaan pada umumnya, tunduk pada hukum di tempat di mana perusahaan didaftarkan. 23
Untuk jaminan keamanan, public key infrastructure saat ini dioperasikan oleh banyak lembaga (dalam tataran internasional, seperti Amerika Serikat misalnya) baik untuk menunjang digital signature dan encryption (pengacakan). Salah satu cara untuk mengimplementasikan public key infrastructure adalah dengan melakukan sertifikasi antardomain (interdomain certification) atau dengan kata lain penerbitan sertifikat oleh dan antar suatu Certification Authority. Umumnya sertifikasi antar domain ini mencerminkan pengakuan secara hukum lintas domain dari semua komponen penting public key infrastructure, termasuk certification authority, sertifikat, digital signatures dan rekaman pendukung transaksi yang berlangsung. Jadi untuk menjamin keaslian suatu dokumen dan memastikan tanda tangan digital memang milik seseorang yang berhak lembaga Certification Authority inilah yang menjamin keasliannya24. Hal ini tentunya sangat penting, mengingat ketidak aslian dari certification authority, sertifikat, digital signatures dan rekaman pendukung transaksi yang berlangsung secara potensial akan merugikan konsumen.
Secara Nasional, pranata untuk memberikan perlindungan terhadap konsumen adalah UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, namun UU perlindungan Konsumen ini secara khusus belum mengantisipasi perkembangan teknologi informasi di dalam pengaturannya. Dalam tataran internasional, telah dibuat kesepakatan-kesepakatan internasional yang secara khusus dapat digunakan untuk memberikan perlindungan terhadap konsumen dalam transaksi e-commerce.
Di bawah ini akan diuraikan mengenai pranata atau pengaturan hukum yang dapat memberikan perlindungan terhadap konsumen dalam transaksi e-commerce.
- Pranata dan Perlindungan Hukum terhadap Konsumen dalam Transaksi E-Commerce dalam tataran Internasional
Sehubungan dengan permasalahan pengaturan hukum dalam transaksi e-commerce, David Harland mengemukakan bahwa :
One consequence of the globalization of trade is a lissening of the significance of national laws affecting such trade. .... the non-territorial and intangible nature of electronic commerce calls into question the adequacy of existing law enforcement mechanism that are still geared to tangible products and national legislation. 25
Khusus untuk perlindungan konsumen dalam tataran internasional telah diterima The United Nation Guidelines for Consumer Protection yang diterima oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui Resolusi No. A/RES/39/248 tanggal 16 April 1985 dengan memberikan penekanan terhadap pemahaman umum dan luas mengenai konsumen serta perangkat perlindungan konsumen yang asasi dan adil untuk mencegah praktek perdagangan yang merugikan konsumen, persaingan yang tidak sehat serta perbuatan-perbuatan yang tidak mematuhi ketentuan perundang-undangan.26 Resolusi ini merekomendasi pula tentang perlunya memberikan perlindungan terhadap konsumen melalui suatu undang-undang yang bersifat nasional serta kerjasama internasional dalam rangka pertukaran informasi mengenai produk-produk terutama produk-produk yang berbahaya atau dilarang. Sejalan dengan hal ini, maka setiap tahun PBB menerbitkan suatu daftar yang memuat semua produk yang telah dilarang untuk dikonsumsi atau dijual karena telah dilarang (banned), ditarik dari peredaran, sangat dibatasi atau tidak disetujui oleh pemerintah. Semuanya ini menampakkan keinginan bersama untuk memberlakukan ketentuan tentang pelarangan penggunaan produk berbahaya tertentu di suatu negara untuk negara lainnya27.
Walaupun tidak secara khusus dibuat untuk memberikan perlindungan terhadap konsumen dalam transaksi e-commerce, seperti telah disebutkan di atas, PBB tepatnya komisi yang menangani Hukum Perdagangan Internasional telah menyetujui UNCITRAL Model Law on Electronic Commerce dengan resolusi 51/162 sebagai mandat untuk kemajuan terhadap harmonisasi dan unifikasi hukum perdagangan internasional demi kepentingan semua pihak, terutama pihak-pihak dalam negara-negara berkembang. Selain itu disebutkan dalam konsideran UNCITRAL ini bahwa hal ini dimaksudkan sebagai alternatif terhadap paper-based methods of communication dan storage of information yang selama ini digunakan sebagai dasar dalam membuat suatu perjanjian28.
Selain itu dalam konsideran UNCITRAL Model Law on Electronic Commerce juga dikatakan bahwa resolusi ini diharapkan dapat diterima secara umum oleh negara-negara dengan latar belakang hukum, sosial dan sistem ekonomi yang berbeda sehingga dapat secara signifikan menyumbangkan keharmonisan hubungan ekonomi internasional dan dapat diadopsi oleh negara-negara serta mengembangkan dan merevisi perundang-undangan nasionalnya aturan tentang alternatif penggunaan paper-based methods of communication dan storage of information.
Dalam Chapter II mengenai Aplication of Legal Requirement to data Massage UNCITRAL Model Law on Electronic Commerce artikel 5 disebutkan bahwa informasi (dalam hal ini informasi elektronik) yang disajikan dalam data massage tidak akan dikesampingkan baik itu menyangkut aspek hukum, pelaksanaan maupun validitasnya. Selanjutnya dalam chapter tersebut diatur pula ketentuan mengenai tulisan (writing) yang menyatakan bahwa ketika hukum menghendaki informasi tertulis, maka kewajiban tersebut dapat ditemukan dalam data massage sebagai bahan referensi. Selanjutnya diatur mengenai keabsahan tanda tangan elektronik (signature), Ketentuan origin yaitu mengenai integritas dari informasi pada saat pertama kali dibuat dan ditayangkan dalam data masage, ketentuan mengenai data massage sebagai alat bukti (evidence), serta penyimpanan (retention) dari data massage.
Dalam Chapter III UNCITRAL Model Law on Electronic Commerce diatur pula mengenai formasi serta validitas dari kontrak (formation and validity of contracts), pengakuan dari para pihak mengenai isi dari data massage (recognition by parties of data massage), atribusi dari data massage, pengekuan terhadap cara pembayaran atau kuitansi (acknowledgement of receipt) juga waktu dan tempat serta penerimaan waktu pembayaran yang diperoleh dari data massage (time and place dispatch and receipt of data massage)29.
UNCITRAL Model Law on Electronic Commerce memang secara spesifik bukan dipersiapkan untuk mengatur mengenai perlidungan konsumen khususnya perlindungan terhadap konsumen dalam transaksi e-commerce, sehingga OECD dalam Conference on A Global Marketplace for Consumer pada tahun 1994 menyepakati perlunya International Code of Conduct for Sellers dalam pasar global
Beberapa negara di dunia telah mengatur dalam perundang-undangan nasionalnya transaksi e-commerce ini diantaranya Filipina dengan Act No. 8792, Masyarakat Uni Eropa dengan disetujuinya Directive 2000/31/EC on Certain legal Aspect of Information Society Services, in Particular Electronic Commerce, in Internal Market atau Directive on Electronic Commerce oleh The European Parliament and The Council pada tanggal 8 Juni 2000, juga Singapura dengan Electronic Transaction Act 1998, Australia dengan Electronic Transaction Bill 1999, serta Amerika juga Malaysia. Khusus Singapura dan Australia digunakan model sejalan dengan apa yang direkomendasikan dalam UNCITRAL Model Law on Electronic Commerce.
Walaupun UNCITRAL Model Law on Electronic Commerce serta peraturan perundang-undangan yang telah digunakan di beberapa negara tersebut memang tidak secara khusus menyebutkan mengenai perlidungan hukum terhadap konsumen, substansi yang diatur dalam peraturan-peraturan tersebut secara tidak langsung memberikan perlindungan terhadap para pihak yang melakukan transaksi elektronik (e-commerce). Dengan ini berarti para konsumen yang menggunakan teknologi elektronik dalam transaksi bisnisnya dapat berlindung pada peraturan-peraturan ini.
Bagaimana dengan Pengaturan di Indonesia? Untuk menjawab pertanyaan ini, maka di bawah ini akan dipaparkan beberapa aspek mengenai perlindungan konsumen di Indonesia.
1. Pranata dan Perlindungan Hukum terhadap Konsumen dalam Transaksi E-Commerce dalam tataran Nasional
Walaupun Indonesia sudah meratifikasi pengesahan tentang pembentukan WTO, namun sampai saat ini perangkat yang dibutuhkan untuk itu belum cukup memadai. Setelah meratifikasi Pengesahan pembentukan WTO tersebut memang terlihat ada kemajuan yang cukup berarti dalam hal dibuatnya legislasi sebagai pendukung serta perangkat menuju era perdagangan bebas.Indonesia telah memiliki UU yang memberikan perlindungan terhadap hak kekayaan intelektual seperti hak Cipta, Paten dan Merk termasuk mengesahkan UU tentang Perlindungan Konsumen. Dalam tataran nasional usaha untuk memberikan perlindungan terhadap konsumen memang dinyatakan dengan diberlakukannya Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Dalam salah satu butir konsiderannya dinyatakan bahwa usaha perlindungan terhadap konsumen dilakukan karena adanya ekspansi dunia usaha yang mengglobal. Disebutkan dalam konsideran menimbang butir 3 bahwa semakin terbukanya pasar nasional sebagai akibat dari proses globalisasi ekonomi harus tetap menjamin peningkatan kesejahteraan masyarakat serta kepastian atas mutu, jumlah, dan keamanan barang dan/atau jasa yang diperolehnya di pasar.
Selanjutnya dalam Penjelasan UU tersebut dijelaskan bahwa fenomena globalisasi dan perdagangan bebas yang didukung oleh kemajuan teknologi telekomunikasi dan informatika telah memperluas ruang gerak arus transaksi barang dan/atau jasa melintasi batas-batas wilayah suatu negara, sehingga barang dan/atau jasa yang ditawarkan bervariasi baik produksi luar negeri maupun produksi dalam negeri.
Kondisi yang demikian pada satu pihak mempunyai manfaat bagi konsumen karena kebutuhan konsumen akan barang dan/atau jasa yang diinginkan dapat terpenuhi serta semakin terbuka lebar kebebasan untuk memilih aneka jenis dan kualitas barang dan/atau jasa sesuai dengan keinginan dan kemampuan konsumen, namun di sisi lain, kondisi dan fenomena tersebut di atas dapat mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang dan konsumen berada pada posisi yang lemah. Konsumen menjadi objek aktivitas bisnis oleh pelaku usaha untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya melalui kiat promosi, cara penjualan, serta penerapan perjanjian standar yang merugikan konsumen.
Tujuan perlindungan konsumen sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 2 Undang-Undang Perlindungan konsumen ini adalah untuk 1) meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri; 2) mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa; 3) meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen; 4) menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi; 5) menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam berusaha; serta 6). meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen30.
Perlu pula ditegaskan bahwa faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen adalah tingkat kesadaran konsumen akan haknya masih rendah, yang terutama disebabkan oleh rendahnya pendidikan konsumen. Oleh karena itu, Undang-undang Perlindungan Konsumen dimaksudkan menjadi landasan hukum untuk melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen.
Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen telah diatur pula hak dan kewajiban pelaku usaha serta larangan-larangan yang bertujuan untuk memberi perlindungan terhadap konsumen dan telah pula mengatur mengenai hak dan kewajiban konsumen. Namun khusus untuk perlindungan hak konsumen dalam transaksi e-commerce masih rentan, karena walaupun Undang-undang Perlindungan Konsumen telah mengatur hak dan kewajiban bagi produsen dan konsumen, namun kurang tepat untuk diterapkan dalam transaksi e-commerce. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam proses produksi barang dan jasa ternyata belum diikuti dengan kemajuan perangkat hukum yang ada.
Beberapa hak konsumen yang diatur dalam UU perlindungan konsumen adalah : 1) hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa; 2) hak untuk memilih serta mendapatkan barang dan/atau jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; 3) hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur; 4) hak untuk didengar pendapat dan keluhannya; 5) hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; 6) hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen; 7) hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; 8) hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
Namun selain haknya sebagaimana disebut di atas, konsumen juga memiliki beberapa kewajiban, dalam hal ini supaya konsumen tidak mendapatkan kerugian karena ketidak hati-hatiannya sendiri. Kewajiban tersebut diantaranya adalah : 1) membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan; 2) beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa; 3) membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati; 4) mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
Selain hak dan kewajiban konsumen seperti tersebut di atas, Pelaku Usaha memiliki pula beberapa hak dan kewajiban sebagai pemenuhan hak terhadap konsumen tersebut. Selain memiliki hak dan kewajiban ada beberapa pelarangan terhadap Pelaku Usaha yang apabila dilanggar, dapat mengakibatkan Pelaku Usaha terkena sanksi baik sanksi administratif, sanksi pidna maupun ganti kerugian secara perdata. Secara singkat pelarangan tersebut adalah :
- memproduksi serta memperdagangkan barang dan/atau jasa yang : tidak sesuai dengan standar; tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto,dan jumlah serta tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut; tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa; tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang.
- menawarkan, mempromosikan, mengiklan-kan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah : suatu barang telah memenuhi dan/atau memiliki potongan harga, harga khusus, standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu; barang tersebut dalam keadaan baik dan/atau baru; tidak mengandung cacat tersembunyi.
- memproduksi iklan yang mengelabui konsumen; memuat informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat.
- Mencantumkan klausula baku apabila menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha; menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali baik barang yang sudah dibeli maupun uang yang sudah dibayarkan konsumen; menyatakan mendapat kuasa dari konsumen baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran; mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen; menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan yang dibuat sepihak; mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.
Dalam rangka perlindungan terhadap konsumen, dapat dilihat pula bahwa UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen selain memberikan sanksi administratif terhadap pelaku usaha bila melakukan perbuatan-perbuatan tertentu sebagaimana diatur dalam UU, juga melakukan kriminalisasi terhadap beberapa perbuatan sebagaimana diatur dalam UU Perlidungan Konsumen tersebut. Ketentuan pidana yang dapat diberikan adalah pidana penjara dan juga denda sampai dengan jumlah maksimal sebesar Rp. 2.000.000.000,-(dua milyar Rupiah).
Semua pengaturan yang telah disebutkan di atas sungguh tepat untuk memberikan perlindungan terhadap konsumen. Namun karena undang-undang ini bertujuan untuk melindungi konsumen dalam skala nasional, maka perlindungan konsumen dalam bertransaksi secara elektronik sesungguhnya belum terakomodasi dalam ketentuan-ketentuan ini.
Selain pengaturan dalam UU Perlindungan Konsumen, sebenarnya dalam tataran tertentu untuk melindungi konsumen dapat pula digunakan hukum pidana dalam hal ini KUHP. Sungguhpun demikian, sehubungan dengan hal tersebut, Romli Atmasasmita sebagaimana disitasi oleh Yusif Shofie, mengemukakan bahwa bentuk tindak pidana dalam era perdagangan bebas tidak cukup dapat diantisipasi dengan ketentuan mengenai tindak pidana ‘perbuatan curang’ sebagaimana diatur dalam Pasal 378 sampai 395 KUHP, tetapi seharusnya diatur dalam ketentuan baru yang lebih komprehensif. Selanjutnya mengenai hal ini Romli Artmasasmita mengemukakan bahwa :
sanksi pidana dalam konteks dunia perdagangan dan bisnis hanya merupakan salah satu upaya untuk memperkuat harmonisasi hubungan antara para pihak yang terlibat, bukan sarana hukum yang dapat memperbaiki hubungan para pihak yang telah terganggu. Penggunaan dan harapan yang terlalu berlebihan pada kekuatan sanksi pidana dalam konteks dunia perdagangan dan bisnis hanya akan mempertaruhkan masa depan dunia usaha ke dalam jurang kehancuran, dan tidak memperkuat segenap segmen kehidupan dunia bisnis dan perdagangan31.
Sebenarnya masih ada satu lagi pranata hukum yang dapat melindungi konsumen dalam transaksi e-commerce yakni dengan asuransi. Namun sudah sangat jelas bahwa dengan penggunaan asuransi, maka beban biaya yang harus diberikan oleh konsumen dalam membeli atau menggunakan suatu produk menjadi lebih besar karena biaya pembayaran premi, karena umumnya konsumenlah yang akan terkena beban untuk membayar premi tersebut. Namun demikian, pranata ini dapat dijadikan salah satu upaya untuk pemberian perlindungan terhadap konsumen. Dari apa yang telah dipaparkan di atas, maka sudah sangat jelas bahwa demi kebutuhan perlindungan terhadap konsumen terutama konsumen yang melakukan transaksi bisnis dengan menggunakan teknologi elektronik (e-commerce), maka urgensi untuk membuat legislasi yang mengatur mengenai hal ini sudah sangat tinggi. Hal ini disebabkan karena peraturan perundang-undangan yang ada terutama undang-undang yang mengatur mengenai perlindungan konsumen belum mengakomodasi kebutuhan tersebut.
Karakteristik yang berbeda dalam sistem perdagangan melalui teknologi elektronik tidak tercover dalam UU Perlindungan Konsumen tersebut. Untuk itu perlu dibuat peraturan hukum mengenai cyberlaw termasuk didalamnya tentang e-commerce agar hak-hak konsumen sebagai pengguna teknologi elektronik dalam proses perdagangan khususnya dalam melakukan transaksi e-commerce dapat terjamin.
www.gunadarma.acc.id
sumber :
http://ejournal.umm.ac.id/index.php/legality/article/view/278/291
0 komentar:
Posting Komentar